Sebagai penggemar musik dan lahir di era 90-an, sejak kecil saya sangat familiar dengan berbagai bentuk rilisan fisik. Apalagi, saya lahir di tengah-tengah keluarga yang menyukai musik.
Jadi, menikmati musik dari rilisan bukan barang baru untuk saya. Jika kebanyakan orang hanya menikmati dari radio, saya sudah cukup akrab dengan album fisiknya.
Penggemar musik terutama bentuk rilisan fisik di era itu boleh dibilang sangat dimanjakan. Di kota saya tercinta, Surabaya, toko-toko musik sangat menjamur.
Saya bisa menemukan toko musik yang ramai pengunjung di berbagai sudut kota. Saat itu yang terkenal adalah Aquarius dan Disc Tarra.
Namun seiring berjalanannya waktu, toko-toko itu menjadi sepi pengunjung. Salah satu 'virus' yang menyebabkannya adalah isu pembajakan besar-besaran.
Rilisan fisik semakin tergerus dengan berkembangnya teknologi digital. Hal ini membuat tulang punggung para musisi beralih.
Mereka tidak lagi bisa mengejar materi lewat penjualan rilisan fisik. Para musisi berlomba-lomba mencari ladang baru, salah satunya tampil dari panggung ke panggung alias off air.
"Kemajuan teknologi tidak bisa kita kendalikan, itu pergerakan yang cepat sekali," kata David Karto, salah satu perintis Demajors Independent Music Industry (DIMI) kepada detikHOT.
"Bahkan kita tidak bisa membayangkan lima sampai sepuluh tahun ke depan apa yang akan terjadi dengan musik Indonesia," lanjut David.
Dengan kondisi ini, menurut David, musisi mau tak mau harus berbenah. Para musisi paham betul bahwa melawan arus teknologi tak akan bisa mengembalikan keadaan.
Apalagi saat ini, saat internet benar-benar menjadi nadi untuk sebagian orang, penikmat musik benar-benar seperti 'bedol desa' ke platform streaming musik.
Hampir semua orang mendengarkan musik secara streaming dari aplikasi musik seperti JOOX dan Spotify. Coba tengok kanan dan kirimu, berapa orang yang tidak?
International Federation of the Phonographic Industry (IFPI) melalui Global Music Report 2018 melaporkan, pengguna aplikasi musik streaming dan penjualan online terus meningkat.
Meski menurut laporan tersebut, angka penjualan rilisan fisik secara global tidak benar-benar menjadi nol. Penjualan rilisan fisik masih menyumbang sebesar 30 persen dari total pemasukan.
David pun menilai, meski kecil, penjualan rilisan fisik masih ada harapan. Menurutnya, meski menurun, meminat produk fisik musik masih cukup potensial.
Harapan yang dirasakan David, ternyata juga diamini Mocca dan Shaggydog yang sudah belasan tahun berkarier secara independen. Mereka bahkan tidak melihat dunia digital sebagai ancaman.
Heru, vokalis Shaggydog menyebut era digital justru membuat masyarakat Indonesia semakin mudah menikmati musik. Termasuk juga kemudahan untuk para musisi menciptakan musik.
Dan masalah penjualan rilisan fisik, Heru tak melihat itu sebagai bencana. Menurutnya, musisi indie memiliki basis massa yang loyal
"Kami punya basis massa yang bagus karena kami memang agak segmented, jadi setiap ada lagu-lagu baru pasti ada yang menunggu jadi harus produksi rilisan fisik," ungkap Heru.
Sejalan dengan Heru, Riko Mocca dan Adam Sheila On 7 juga meyakini bahwa pendengar setia adalah investasi utama dalam bermusik. Fans akan terus membeli rilisan fisik musisi favoritnya.
"Rilisan fisik itu membuat kami (musisi) akan mempunyai sebuah landmark yang nantinya akan menjadi lagacy dan tidak akan tenggelam," katanya.
Namun menurut Riko, saat ini musisi tak cukup hanya menjual CD saja. Para musisi harus kreatif salah satunya menciptakan artwork. Hal ini pun diamini oleh Heru, vokalis Shaggydog.
"Tak cukup menjual kaset atau CD aja, biasanya yang laris itu kalo bundling. Cepet banget habisnya itu," kata Heru kepada detikHOT.
"Sama kaya boxset kita kemarin habis seribu, untuk CD saja habis 3 ribu keping. Kok bisa? Karena ya itu tadi, mereka itu loyal banget sama kita," lanjutnya.
Karena kesetiaan penggemar itu, Riko dan tim pun mencoba memberi sesuatu yang baru. Tak cuma untuk didengarkan, rilisan fisik itu juga bisa menjadi barang koleksi.
Namun, baik David, Riko, Adam, dan Heru tidak ada satupun yang pesimis album fisik yang mereka jual akan mangkrak di gudang.
"Meskipun industri musik itu terus berubah dan berkembang, rilisan fisik adalah salah satu cara musisi bisa memberikan feedbacknya," kata Riko.
Berbagai cara cerdas dilakukan para musisi untuk menjual album fisiknya. Mulai dari kemasan yang unik seperti yang dilakukan Mocca pada album Home, buku lirik dengan tulisan tangan para personil milik Dekat di album Numbers, dan ide gila musisi lainnya.
Artinya, bukan hanya bagi para fans, tapi musisi jadi punya sejarah dan cerita unik dibalik proses kreatif produk fisiknya.
Pertama, rilisan fisik telah menjadi bukti nyata mahsyurnya industri musik kita dari masa ke masa. Kedua, keberadaan rilisan fisik pula seakan menjadi bukti bahwa siapapun dan apapun genre musiknya, karya musik akan selalu abadi dan tak lekang oleh waktu.
Tak heran jika trend mendengarkan musik dengan Walkman, piringan hitam, dan alat pemutar musik lainnya sedang naik daun rilisan fisik jadul dan langka dibanderol dengan harga fantastis.
Sebagai kecintaan terhadap musisi, tak jarang fans mengoleksi berbagai album rilisan fisik musisi sebagai bentuk apresiasi karya idolanya.
Namun bagi para penikmat rilisan fisik, kamu tidak perlu khawatir. Ternyata masih banyak lho kedai-kedai musik yang menjual mulai dari artis 70an hingga 2000an. Salah satunya di Pasar Musik yang terletak di blok B kawasan Blok M Square, Jakarta.
Bagi kamu pecinta rilisan fisik musik, tentu tempat ini sudah tidak asing di telinga. Seperti namanya, para penjual di Pasar Musik Blok M menjajakan berbagai produk fisik musik.
Selain itu kamu juga bisa membeli poster hingga berbagai alat pemutar musik di sini. Meski buka mulai pukul 10 pagi, saran saya lebih baik datanglah setelah makan siang karena pagi hari masih sangat sedikit pedagang yang siap menjajakan dagangannya.
"Ke sini harusnya agak siangan, sore deh amannya," kata Gunawan, pemilik Kims Varia.
Kims Varia adalah salah satu kedai di antara 26 kedai lainnya yang ada di Pasar Musik.
Sama halnya dengan David, Riko, dan Adam, Gunawan yang telah memulai bisnisnya jual-beli produk fisik musik sejak 2006 ini merasa terancam dengan perkembangan musik streaming.
"Rilisan fisik itu semakin ke sini semakin banyak yang cari, apalagi piringan hitam," ungkap Gunawan.
Bahkan ia tak setuju jika pasar rilisan fisik diniali menurun drastis seperti yang dikatakan banyak orang.
"Sensasi saat mendengarkan dan pengalamannya itu yang tidak bisa tergantikan, makanya pasar kami (rilisan fisik) sebenarnya cenderung stabil," imbuhnya.
Ia merasa perkembangan digital semakin mempermudahnya menjual barang, sehingga pembelinya pun semakin luas dan tidak hanya di sekitaran Jakarta saja.
"Sebelum di sini saya jualan lewat Facebook. Sekarang juga masih ada dan nambah ke platform lain seperti Instagram juga," katanya.
Imbas yang paling terasa menurutnya malah susahnya mencari stok produk fisik yang berkualitas.
"Dulu gampang banget dapet barang bagus, sekali dateng langsung banyak stoknya. Kalo sekarang susah. Jadi lebih sering ambil dari luar negeri," imbuhnya.
Penikmat rilisan fisik musik mungkin boleh saja menurun, tapi semangat para musisi dan pelaku industri musik lainnya untuk menghasilkan produk fisik musik yang berkualitas masih tetap membara.
Bahkan banyak para musisi kini lebih mandiri dengan membangun sebuah label rekaman musiknya sendiri, seperti halnya Mocca, Shaggydog, dan Sheila On 7.
Tidak hanya sibuk urusan lagu baru atau jadwal panggung, kini mereka memiliki tanggung jawab baru, Mocca dengan Lucky Me Musik-nya, Shaggydog dengan Doggy House Records, dan Sheila On 7 dengan 507 Records.
"Iklim industri musik sekarang ekosistemnya kolaborasi. Jadi sekarang gak butuh label gede lagi. Apalagi dengan punya label sendiri, tentu sangat membantu," kata Riko.
Melihat maraknya label rekaman milik para musisi ini tumbuh dengan subur, David mengaku tak kaget sama sekali. Bahkan tak merasa terancam sedikit pun.
Baginya, kemajuan teknologi digital telah mempermudah pekerjaan manusia, salah satunya dalam memproduksi karya musik. Bahkan kini, hanya dengan bantuan smartphone, siapapun bisa menghasilkan dan mempromosikan hasil karyanya sendiri.
Kini, produksi bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Biayanya pun bisa ditekan dan mereka bisa menghemat waktu dan tenaga.
Bahkan David mengatakan bahwa kini harus tidaknya seorang musisi 'pergi' ke label rekaman adalah pilihan.
"Itu bukan sebuah keharusan, ketika dia merasa ok dengan hasil rekamannya sendiri dan menggarap proses lainnya sendiri ya itu sah sah saja," katanya.
Namun bagi musisi senior yang telah memiliki label rekamannya sendiri, keberadaannya menjadi penting dan mempermudah proses produksi.
Banyak musisi baru yang melirik label-label rekaman milik musisi senior ini. Dengan popularitas mereka, banyak musisi baru yang tertarik untuk bergabung dengan label mereka.
"Tentu banyak banget band-band yang datang ke kami, banyak juga yang bagus dan ingin bergabung dengan 507 Records tapi kami belum berani dan masih mau fokus dulu ke Sheila On 7," ungkap Adam.
"Kami masih minim personil. Semuanya masih kami kerjakan sendiri. Mungkin ke depannya iya, tapi belum tau juga," imbuhnya.
David pun berharap keberadaan label-label rekaman baru ini mampu menjadikan ekosistem industri musik tanah air semakin sehat.
"Ini yang sudah kami prediksi bahwa suatu saat mereka akan memiliki brand sendiri yang ke depannya bisa membantu musisi-musisi lainnya," tutup David.
(ken/ken)
Photo Gallery


0 Response to "Nasib Rilisan Fisik di Era Digital Kata Shaggydog, Mocca, dan Sheila On 7"
Posting Komentar