Sudah Ramahkah Musik bagi Perempuan?

Jakarta - Belakangan ini media dalam dan luar negeri ramai memperbincangkan tentang sebuah trio metal bernama Voice of Baceprot. Menariknya, yang diobrolkan dalam setiap wacana tersebut adalah bagaimana grup musik tersebut diisi oleh tiga orang perempuan.

Perempuan dan memainkan musik metal saja sudah terdengar aneh dan menantang norma-norma patriarki yang selama ini berlaku di masyarakat. Nyatanya, Voice of Baceprot semakin mempermainkan narasi gender dengan personel yang berasal dari 'second city' yaitu Garut, Jawa Barat dan mengenakan hijab.

Entah sadar ataupun tidak sadar, ketiga personel seakan ingin melawan stigma yang selama ini menempel bahwa perempuan tidak seharusnya maju ke panggung yang merupakan ranah publik.

Anggapan ranah publik hanya milik laki-laki dan tugas-tugas domestik ditempelkan menjadi tanggung jawab perempuan tampaknya harus segera masuk kotak dan menjadi common agreement yang sudah usang.

Tapi, benarkah industri musik dan skenanya sudah benar-benar ramah terhadap perempuan?

"Hari ini pecapaian perempuan memang lebih jauh daripada generasi sebelumnya, kita harus celebrate, tapi jangan cuma melihat itu saja, karena tantangannya masih ada," kata Kartika Jahja dalam sebuah panel diskusi 'Women; Gender Equility Within the Local Scene' pada acara Archipelago 2017 yang berlangsung di Soehanna Hall, SCBD, Jakarta Selatan akhir pekan lalu.

Selama ini, selain dikenal sebagai musisi, Kartika Jahja juga dikenal aktif dan peduli terhadap isu-isu gender.

Menurutnya, tekanan dan tantangan yang dirasakan perempuan akan berbeda-beda di setiap skena. Hal tersebut sangat tergantung dengan berada di skena dengan jenis musik apa.

"Kita perlu mendefinisikan scene itu apa, scene independen kah, atau major label kah, atau dangdut, tentunya semua tantangannya beda-beda," ungkapnya lagi.

Dalam beberapa skena, dangdut misalnya, eksploitasi terhadap seksualitas perempuan kerap kali ditemukan. Bagaimana seorang perempuan kerap harus menari dengan goyangan erotis dan pakaian minim untuk menarik penonton.

Meski telah banyak perempuan yang berani maju ke atas panggung, sering kali kehadiran perempuan justru menjadi obyek bagi para penonton.

"Dulu teman-teman perempuan kayak minder untuk bermusik, sekarang pas mereka berani, mereka malah jadi bahan bully (perundungan), jadi bahan bercandaan. Misalnya, 'Eh nonton band ini nih, vokalisnya lucu'," kata Hera Mary, vokalis dari band sludge metal asal Bandung, Oath, yang juga menggarap film 'Ini Scene Kami Juga!' dalam panel yang sama.

Jadi, apakah skena musik di Indonesia sudah benar-benar ramah bagi perempuan? Hari ini detikHOT akan membahas dan mempertanyakan persoalan yang terjadi di atas.
(srs/tia)


Photo Gallery

1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

0 Response to "Sudah Ramahkah Musik bagi Perempuan?"

Posting Komentar